Belum lama ini, saya menemui tulisan tentang gudeg yang sedikit mengganggu. Seperti yang telah diketahui, gudeg umumnya memang menggunakan bahan dasar nangka muda (gori). Meski begitu, di Bantul juga dapat ditemui gudeg berbahan dasar putik bunga kelapa yang masih muda, atau lazim disebut manggar.
Penggunaan bahan dasar lain ini bukanlah suatu masalah karena pada dasarnya gudeg merupakan sebuah teknik memasak, hampir sama seperti gulai atau tongseng. Hanya saja, ada sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa gudeg manggar merupakan “kuliner perlawanan”. Konon katanya, sebagian rakyat Bantul pada masa Perang Diponegoro melawan kekuasaan pemerintahan yang pada waktu itu mereka anggap memihak pada kepentingan Hindia-Belanda. Entah katanya siapa. Kuliner perlawanan ini kemudian menjadikan gudeg manggar menjadi ikon kuliner khas Bantul.
Benarkah?
Nah, klaim ini ada baiknya tidak langsung diterima begitu saja. Narasi yang ditempelkan pada suatu produk memang mampu meningkatkan citra produk tersebut. Dalam hal gudeg manggar ini, citranya semakin eksotis. Namun, narasi ini patut dikritisi agar tidak terjadi kesimpangsiuran narasi yang mengarah pada hal yang makin salah. Apakah benar gudeg manggar merupakan kuliner perlawanan?
Pertama-tama, perlu kita tilik sejarah gudeg itu sendiri. Gudeg memang sudah tidak mungkin dirunut hingga ke titik awal mula penciptaannya karena kurangnya dokumentasi. Meski begitu, dari perkembangan gudeg itu sendiri perlu dicatat bahwa gudeg adalah makanan rakyat karena resepnya hampir tidak dapat ditemui dalam resep-resep kraton. Penggunaan gudeg dalam acara ritual pun tidak dapat ditemui, menjadikan gudeg sebuah kuliner tanpa makna simbolik dan tidak dapat dikaitkan dengan simbol apapun.
Kedua, untuk dapat menjadikan gudeg manggar sebagai “kuliner perlawanan” dalam “perang” antara rakyat Bantul dengan pemerintahan (Kraton), perlu lah gudeg gori ini memiliki posisi yang kuat terlebih dahulu di area Kraton sehingga dapat merepresentasikan Kraton itu sendiri. Baru setelah itu, gudeg gori dapat “dilawan” dengan gudeg manggar.
Masalahnya adalah gudeg gori dan Kraton merupakan dua hal yang berbeda. Gudeg gori pada masa itu bukanlah suatu ikon kuliner kota Yogyakarta, seperti yang terjadi pada saat ini. Bahkan hingga tahun 1960-an, gudeg belum terikat dengan nilai-nilai “ke-Yogyakarta-an”.
Gudeg belum tentu diciptakan di Yogyakarta loh… dan proses terjadinya ikonisasi gudeg di Yogyakarta bukanlah karena ia diciptakan di kota ini.
Gudeg juga tidak diciptakan oleh Kraton dan bukan makanan yang diagungkan di Kraton. Ini dapat dilihat dalam buku resep Kraton yang belum ditemukan resep gudeg gori di dalamnya. Jadi untuk mengaitkan hubungan antara gudeg gori dengan kraton, perlu dicari kaitan yang lebih kuat. Dari penelusuran saya, gudeg gori pada masa lalu adalah masakan rakyat yang dikonsumsi bukan karena rasa atau simbolnya, namun karena kebutuhan hidup. Karena itu, gudeg sebenarnya juga menjadi makanan keseharian di daerah-daerah lain di Jawa Tengah, seperti Solo, Sragen, Magelang, hingga Purworejo.
Tak seperti sekarang, pohon nangka pada masa lalu sangat mudah ditemui. Sampai pada tahun 1960-an pun (tahun di mana sejarah gudeg masih dapat terlacak), pohon nangka banyak tumbuh di pekarangan. Keberlimpahan buah nangka inilah yang menjadikan nangka muda (atau gori) lantas banyak dikonsumsi. Sering kali sebagai pengganti daging. Gudeg sendiri merupakan suatu cara masak, yang lalu menggunakan gori sebagai bahan utamanya karena banyak ditemukan di sekitar tempat tinggalnya.
Menilik kedua hal tersebut saja, menempatkan gudeg manggar sebagai perlawanan dari gudeg gori yang merepresentasikan pemerintahan (Kraton), menjadi hal yang aneh. Dibutuhkan bukti dan analisa lebih lanjut dari sekedar “konon katanya”.
Kalau dari hipotesa saya sendiri, kemunculan gudeg manggar terkait dengan kreativitas pemanfaantan bahan pangan di sekitar masyarakat Bantul, dalam rangka untuk bertahan hidup juga.
Memotong putik bunga kelapa yang masih muda merupakan salah satu cara untuk menyuburkan pohon kelapa. Apabila terdapat banyak pohon kelapa yang tidak subur, maka langkah yang harus dilakukan memang memotong putik bunga kelapa yang masih muda tersebut. Ini menjadikan ada putik-putik bunga kelapa yang kemudian tidak lagi digunakan.
Dari ketersediaan bahan tersebut, kreativitas muncul dan manggar pun diolah menjadi gudeg manggar. Hidangan ini memang kemudian tidak sepopuler gudeg gori karena memang ketersediaan manggar tidak semelimpah ketersediaan gori.