Meski sempat kehilangan ketenarannya di sekitar tahun 90-an, hidangan fusion kini semakin mudah ditemui, baik di restoran berbintang maupun warung kaki lima. Pada dasarnya, hidangan fusion ini sendiri adalah masakan yang mengkombinasikan beberapa masakan dari budaya yang berbeda, sehingga menghasilkan suatu inovasi masakan baru. Kombinasi ini bisa berupa teknik masaknya, resepnya, hingga bahan yang digunakan.
Namun, sebatas manakah suatu makanan bisa dikatakan makanan fusion?
Untuk melihat ini, konsep hidangan fusion perlu dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama adalah fusion yang dibawa oleh para perantau/imigran. Biasanya mereka mengadaptasikan makanan lokal mereka dengan makanan di tempat perantauan – atau sebaliknya. Hidangan seperti ini kemungkinan awalnya muncul dari koki-koki rumahan yang mengenal betul masakan lokal mereka dan berusaha menciptakannya kembali dengan bahan-bahan yang terbatas. Seperti contohnya, pempek ikan lele bagi orang Palembang yang lebih mudah menemui lele di Jawa.
Kedua, hidangan fusion yang muncul dari tangan kreator yang berusaha meramu berbagai bahan dari berbagai daerah menjadi satu masakan baru. Masakan baru ini tidak menunjukkan keterhubungannya dengan suatu daerah atau budaya tertentu. Contohnya adalah koki Peter Gordon yang memadukan santan dan kecap dengan karamel asin.
Ketiga, hidangan fusion yang menggunakan satu dasar makanan tertentu lalu dikombinasikan dengan berbagai bahan atau masakan dari daerah lain. Hidangan fusion yang seperti ini yang mudah ditemukan. Contohnya sushi bothok, ravioli isi tongseng, atau yang dulu sempat dilakukan oleh sebuah restoran fast food, burger rendang.
Hidangan fusion memunculkan celah yang sangat besar untuk menampung kreasi para tukang masak, baik amatir maupun profesional. Memang, secara sekilas, untuk membuat hidangan fusion ini tampaknya sederhana, hanya tinggal mencampuradukkan bahan-bahan yang tidak biasa.
Tapi pada kenyataannya, dibutuhkan pehaman kuat mengenai rasa dasar suatu bahan atau masakan. Tidak semua bahan bisa cocok bila disandingkan dengan bahan asing. Bahkan pada tingkatan seorang koki pun, tidak dapat sembarangan mengkreasikan hidangan fusion. Bagi yang berhasil, namanya akan dikenal, tapi tak sedikit pula yang justru menghasilkan confused food – suatu hidangan fusion yang gagal.
Memasuki dunia yang semakin ‘sempit’ dan semakin terhubung, toleransi kita pada rasa yang asing semakin terbuka. Keinginan untuk mencicipi hidangan yang berbeda pun semakin tinggi. Tak heran, hidangan-hidangan fusion semakin terjangkau bahkan hingga tingkat kaki lima. Bahkan fusion seakan menjadi jawaban atas kebutuhan atas uniqueness dalam suatu produk.
Nah, bagi penikmat kuliner, saran dari saya kalau ingin mencicipi hidangan fusion, bukalah pikiran dan rasa kalian lebar-lebar. Mungkin saja kalian akan menemukan rasa yang kacau, semacam tabrakan antara rasa-rasa yang asing. Tapi sebaliknya, bisa juga kalian menemukan rasa baru yang harmonis dan tak ada duanya.