The Observant Club’s Fine (Art) Dining: Food for Thought

Seni, sampai sekarang, masih menjadi hal yang absurd untuk saya. Apa seni itu? Apakah harus dipahami? Atau sekedar dinikmati?

Sekitar dua minggu yang lalu, saya diundang untuk ikut serta dalam “The Observant Club’s Fine (Art) Dining”. Acara ini merupakan performative exhibition yang memadukan kuliner dan seni pada saat yang bersamaan. Tujuannya, tidak terlalu muluk – karena saya juga tidak akan mengerti apabila terlalu muluk dan di awang-awang. Lir Space sebagai penyelenggara menjadikan acara ini untuk berfungsi sebagai bentuk pendidikan seni alternatif.

Jujur, saya yang sedari awal memang tidak terlalu mengerti seni ketika datang, mengalami kebingungan sementara. Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus mengomentari seninya? Sepertinya tidak, karena saya tidak memiliki dasar seni apapun. Lalu, apakah saya hanya diminta untuk menonton? Atau saya hanya mengikuti jalannya acara secara pasif? Atau bagaimana? Sampai detik ketika saya harus duduk, saya masih belum ada bayangan.

Lalu saya pun pasrah, dan mengikuti jalannya acara dengan canggung.

Acara ini secara sederhana dapat dikatakan adalah suatu acara jamuan makan yang menampilkan karya-karya seni berbasis makanan. Sesuai temanya yang mengangkat jamuan resmi (fine dining), seni dihadirkan di atas meja sesuai urutan. Sajian karya seni yang berbasis makanan pun terhidang di meja satu per satu.

Hidangan pembuka merupakan karya Mella Jaarsma (1998), bertajuk “Pribumi – Pribumi”. Kaki kodok yang digoreng garing, disajikan di atas lembaran daun pisang nan eksotis. Hidangan berikutnya merupakan karya Agung Kurniawan (2013), berjudul “Masya Allah, Transgenik!!!”. Dalam piring, disajikan nasi kuning aromatik lengkap dengan telur dadar, kedelai hitam, kering tempe, abon, dan ayam suwir.

Berikutnya, karya Mella Jaarsma (2013) kembali disajikan, dengan judul “A Blinkered View – High Tea, Low Tea”. Segelas teh (yang diakui sebagai teh) kualitas terbaik yang diproduksi di Indonesia disajikan di meja. Biasanya, teh ini hanya dijual untuk masyarakat kelas atas.

 

Lalu, hidangan terakhir merupakan karya dari Alfin Agnuba (2014), mengangkat “Cita Rasa ’75”. Hidangan penutup ini merupakan lembaran kulit pangsit yang dikaramelisasi dengan susu, disajikan dengan sejumput kayu manis bubuk.

-o0o-

Saya tidak ingin banyak berbicara tentang karya seni tersebut. Atau bagaimana rasa hidangan-hidangan yang tersaji di meja tersebut. Bagi saya, yang penting pada acara tersebut adalah bagaimana saya dapat membuka mata untuk melihat seni dengan lebih jauh. Bagaimana saya harus menghadapi dan merespon seni yang tersaji di atas meja.

Lalu semua berjalan begitu saja. Ketika kaki kodok dihidangkan, lalu dibumbui dengan sepatah kata pembuka, hidangan kaki kodok tersebut lantas memancing perbincangan mengenai nasib para warga etnis Cina saat terjadi kerusuhan di bulan Mei 1998. Lalu hidangan nasi kuning lengkap yang disajikan di atas piring bertuliskan Monsanto membawa perbincangan kami ke area kekhawatiran pada berbagai bahan pangan yang tak disadari ternyata ‘pabrikan’.

Hidangan teh kental yang terasa sepet dan tidak cocok di lidah saya, memunculkan perdebatan mengenai bagaimana suatu teh kemudian dipertahankan kemegahannya, bahkan oleh bangsa yang “tidak diijinkan” untuk meminumnya. Bagi saya, teh pada akhirnya kembali pada selera rasa di lidah masing-masing.

Terakhir, hidangan penutup yang terasa seperti ledre, mengantarkan pembicaraan pada konsep-konsep seni rupa – yang merupakan pembicaraan singkat karena saya tak terlalu paham dengan hal tersebut. Bagi saya, pemahaman mengenai konsep seni sendiri belum mengendap di diri saya. Karena itu, sulit lah untuk membahas lebih lanjut mengenai konsep seni.

-o0o-

Kembali pada pertanyaan awal, saya mendapat pencerahan melalui acara ini. Sama seperti berita, buku, film, atau gosip tetangga, seni pun punya kuasa untuk menggerakkan suatu perbincangan. Sensasinya berbeda dengan film di mana kita hanya menonton, atau buku di mana kita hanya membaca, atau gosip ketika kita hanya mendengar. Dalam seni, saya ikut mengalami – lalu merasakan.

Bagi saya, “The Observant Club’s Fine (Art) Dining” merupakan cara yang tepat untuk memperkenalkan seni. Acara makan seringkali beririsan dengan acara sosial. Makanan yang disajikan seakan menjadi bahan bakar untuk obrolan yang muncul di atas meja makan.

Bagi saya, dengan disajikan di atas meja, sambil menikmati makanan bersama teman diskusi yang menyenangkan, pengalaman “menikmati” seni pun lantas lebih mudah dipahami. Walau begitu, tetap saja sulit bagi saya untuk menjelaskan kembali tentang seni.

Leave a Comment

@eatymologist.id