“Masak kok harus persis resep,” ujar ibu dan tante-tante saya setiap melihat saya repot mau memasak makanan tradisional sesuai resep. Mereka adalah golongan ibu-ibu yang mampu memasak wat-wet tanpa resep – bahkan kalau bisa membuat resep sendiri. Sementara, memasak makanan tradisional adalah tantangan bagi saya. Sejak kecil, saya tidak terbiasa memasak ataupun memilih-milih bumbu. Saya hanya biasa makan saja. Alhasil, kepekaan saya pada rasa-rasa bumbu dapat dibilang sangat terbatas dan resep menjadi semacam peta penyelamat untuk menyelesaikan tantangan memasak.
Ini kenapa saya jarang sekali masak makanan tradisional yang berbumbu kompleks. Bukan karena tak suka, tapi karena keterbatasan ilmu. Jangan salah, kalau sekedar memasak telur dadar atau sambal balado ayam ya masih bisa lah, karena tak terlalu rumit. Kalau makanan tradisional berbumbu kompleks tadi, akan butuh waktu yang lebih panjang dan resep yang lengkap.
Pernah suatu hari saya berencana memasak mangut lele, yang saya anggap cukup rumit. Meskipun kalau sekarang, setelah pengalaman memasak yang cukup banyak, saya bisa bilang kalau memasak mangut lele tadi sebenarnya mudah saja. Namun pada saat kejadian itu, saya belum tahu bahan apa saja yang dibutuhkan untuk memasak mangut.
Padahal, dari dulu di rumah ibu saya juga kerap tersaji masakan mangut lele buatan Ibu. Lalu kenapa saya tak bisa memasaknya? Kenapa saya langsung mencari resepnya di Google, dan bukan bertanya pada ibu saya yang tinggal hanya 2 km dari rumah saya?
Ada dua hal. Secara sederhana dan yang paling mendasar, jawabannya adalah transmisi budaya memasak tidak terjadi di keluarga saya. Saya tidak biasa membantu ibu saya memasak dan jarang belajar memasak dari beliau. Transmisi ilmu memasak ini jangan dibayangkan seperti kursus memasak yang diampu oleh seorang ibu dengan anak-anaknya sebagai murid. Ilmu memasak terjadi ketika kita berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan memasak yang dilakukan di lingkungan rumah. Belajar melalui pengalaman sehari-hari.
Hal yang tidak saya lakukan.
Daripada ikut rewang, saya lebih memilih untuk bermain bersama teman-teman di halaman. Ketika ada acara dan terjadi kesibukan di dapur, saya lebih memilih untuk membantu menata tikar di garasi rumah. Ketika ibu berangkat ke pasar pagi-pagi, saya masih terlelap akibat malamnya begadang mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam.
Saya memang dibesarkan tanpa memiliki kewajiban untuk membantu di dapur. Sepertinya orang tua saya lebih memilih agar waktu luang saya digunakan untuk menyelesaikan tugas sekolah, kursus atau mengikuti aktivitas-aktivitas di luar rumah yang sesuai minat saya waktu itu. Toh ibu saya tidak kerepotan karena selalu ada asisten yang siap membantu. Ini membuat transmisi itu tidak terjadi. Akhirnya saya lebih memilih mencari resep di internet.
Salah satu alasan lainnya adalah ketidakpekaan saya pada bumbu tadi. Seperti ibu-ibu yang fasih memasak dengan resep di luar kepala, takaran menjadi sesuatu yang penuh kira-kira bagi ibu saya. Sementara, saya membutuhkan resep yang tepat, paling tidak untuk meningkatkan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri dalam hal masak-memasak.
Tak jarang lalu terjadi percakapan telepon yang kira-kira seperti ini:
“Bumbunya apa aja, Ma?”
“Bawang, brambang, kunyit…”
“Seberapa banyak?”
“Secukupnya, tergantung dagingnya.”
“Dagingnya sekilo.”
“Ya secukupnya aja. Kira-kira.”
“Ya seberapa…”
“Kalau bingung ya sedikit dulu, nanti kalau kurang ditambah…”
“Yahhh…”
Sementara, resep di internet takarannya lebih jelas karena memang sudah berbentuk resep. Aksesnya lebih mudah dan saya bisa memilih yang lebih cocok untuk kondisi saya. Ini terutama kaitannya dengn ketersediaan bahan baku di dapur.
Sayangnya, ada masalah tersendiri di balik resep-resep online itu. Pertama, tidak seperti resep-resep pada jaman cetak, banyak resep online yang tidak melalui dapur uji sehingga resepnya tak teruji dengan baik. Selain itu, banyak pula penulis resep dadakan ini yang tidak memiliki dasar menulis resep dengan baik, sehingga urutan cara yang ditampilkan bisa jadi kurang runtut, kurang lengkap atau justru salah kaprah.
Untuk mengatasi ini, seringkali saya mencari resep dari website-website atau tokoh-tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi – mereka yang telah memiliki brand terpercaya. Ini bisa didapatkan dari koki-koki selebritis atau majalah-majalah kuliner online.
Tapi, brand ini pun bukan tanpa masalah. Sebagai ilustrasi, saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya. Belum lama ini saya menonton video youtube Jamie Oliver memasak Thai Green Curry. Anda pernah menonton channel Youtube-nya Uncle Roger? Nah saya menonton episode Jamie Oliver ini di channel Youtube Uncle Roger.
Seperti banyak koki selebriti lainnya, Jamie Oliver juga sudah merambah aneka makanan tradisional dari luar negaranya. Masalahnya kemudian, Thai Green Curry buatan Jamie Oliver ini sebenarnya tidak dapat dikatakan Thai Green Curry tradisional. Bahkan entah apakah masih bisa disebut Thai Green Curry. Bahan-bahannya tidak sesuai, cara masaknya pun (kalau boleh dikatakan) melenceng dari biasanya.
Namun di sisi lain, Jamie Oliver sudah memiliki nama besar yang membuatnya seakan memiliki kredibilitas lebih. Apabila tidak melihatnya dengan kritis, bisa jadi penonton justru menyalahkan Thai Green Curry yang dimasak ibu-ibu Thailand karena tidak seperti yang dimasak Jamie Oliver.
Bisa keprosok deh…
Nah melihat dari fenomena ini, sepertinya bisa dikatakan bahwa kurangnya transmisi ilmu yang terjadi antar generasi dapat mengubah keberadaan atau kondisi suatu pengetahuan kuliner. Menilik peristiwa Thai Green Curry Jamie Oliver tadi misalnya, persepsi (dan bahkan resep!) Thai Green Curry mungkin saja berubah.
Atau lebih ekstrim lagi, bisa saja pengetahuan akan suatu kuliner itu hilang. Kalau mau diadakan survey, mungkin sudah banyak makanan masa lalu yang hilang karena ilmunya tidak diturunkan. Tak banyak yang mencari atau menuliskan resepnya, karena bahkan tak pernah mendengar namanya. Karena itulah sangat mungkin terjadi, entah kapan nanti, Lodeh Jipang yang dimasak anak-anak saya bukan lagi Lodeh Jipang Simbah, tapi Lodeh Jipang Jamie Oliver.