Biarkan Kuliner Menceritakan Dirinya Sendiri

“Kuliner itu tidak butuh untuk diceritakan, karena kuliner dapat bercerita sendiri.” Demikian saya membaca suatu komentar pada unggahan media sosial yang sempat panas beberapa waktu yang lalu. Komentar itu bernada tidak setuju atas unggahan seorang “pencerita kuliner” dari Jakarta, yang mengatakan masakan ikan kuah kuning di Kepulauan Kei tidak enak. Walau tampaknya terpeleset lidah, tapi nasi terlanjur menjadi bubur, dan netizen terbakar.

Sejak dua dekade yang lalu, tren kuliner memang sangat terasa meningkat. Acara dan tulisan kuliner yang sebelumnya hanya bergulat di arena masak-memasak dan resep, tiba-tiba menemukan tren baru. Ini dimulai dengan maraknya liputan kuliner yang menunjukkan kelezatan-kelezatan makanan dari berbagai warung, dan lanjut berkembang hingga muncul aneka studi mengenai suatu hidangan dan budayanya.

Meningkatnya perhatian yang besar pada kuliner ini sayangnya kurang diikuti dengan pemahaman bahwa kuliner bukanlah sesuatu yang berjarak dari keseharian. Maksud saya, makanan akan selalu ada dalam keseharian siapa pun, hanya saja penyajiannya sering kali berbeda. Perbedaan-perbedaan ini kerap menimbulkan ketertarikan sesaat, dan kurang dipahami lebih jauh. Mungkin itu kenapa wisata kuliner terus saja naik pamornya. Bagi masyarakat Jawa misalnya, bisa jadi menikmati kuliner papeda dan kuah kuning menjadi pengalaman yang eksotis – tanpa terlalu perlu berpikir hal-hal lain di sekitarnya. Begitu juga mungkin bagi para wisatawan yang mengunjungi Gunung Kidul dan mencicipi belalang goreng, sedikit bergidik tapi seru karena mereka mencari pengalamannya saja.

Untuk masyarakat awam yang hanya berwisata, menikmati rasa dan pengalaman kulinernya, tentu ini bukan hal besar. Tapi bagi seseorang yang ingin menceritakannya kembali atau menyebarkan informasi ke pihak lain, bukankah lebih baik untuk mencoba memahami lebih lanjut?

Perbedaan dalam sajian kuliner dan budaya boga ini sebenarnya menarik karena perbedaan yang muncul adalah bagian dari keseharian. Perbedaan-perbedaan ini dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat sekitar, ketersediaan bahan pangan, kepercayaan suatu masyarakat, yang keseluruhannya dapat membentuk selera suatu daerah. Bahkan, resep yang sama pun tetap bisa hadir berbeda.

Pempek bisa jadi contoh sederhananya. Kenapa pempek bisa muncul di Palembang dan bukan di Lombok? Tentu ada sejarahnya yang melingkupi keragaman hayati dan budaya setempat. Lalu, kenapa juga pempek yang dibuat di kota asalnya dan pempek yang dibuat di Jawa biasanya berbeda? Perbedaan geografis membuat jenis ikan yang tersedia juga tak sama, menghasilkan rasa pempek banyak yang berbeda meski yang memasak sama-sama orang Palembang.

“Masak itu tergantung tempat dan tangan,” ujar ibu saya bertahun-tahun yang lalu. Meski konteksnya berbeda, namun saya rasa dalam skala tertentu dapat mewakili perbedaan tersebut.

Saya ambil gudeg sebagai contoh lain yang agak panjang. Saya tinggal di Jogja yang terkenal akan gudegnya. Gudeg, seperti yang sering diceritakan, adalah makanan yang manis dan terbuat umumnya dari gori (nangka muda). Banyak orang dari luar Jogja menganggap gudeg sebagai makanan yang terlalu manis.

“Seperti makan nasi lauk kolak,” kata seorang kawan dari Jakarta.

Bagi yang tak terbiasa dengan manisnya gudeg, memang kemungkinan tidak akan menyukainya. Tapi, gudeg adalah bagian dari keseharian masyarakat Jogja. Tentu, tak semua orang di Jogja suka dan bangga pada gudeg. Namun, bagian-bagian dari gudeg tak terpisahkan dari keseharian masyarakatnya.

Contohnya, nangka yang menjadi salah satu bahan utama gudeg, di masa lalu sangat mudah ditemui di halaman-halaman rumah warga Jogja. Atau rasa manisnya seakan-akan sudah menjadi bagian dari selera masyarakat Jogja – kesukaan akan rasa manis ini katanya dipengaruhi oleh keberadaan pabrik gula di kawasan Jogja. Selain itu, di masa lalu, peran gudeg menjadi kerap jawaban atas kebutuhan sarapan murah-meriah baik perantau maupun warga setempat.

Karenanya, menceritakan gudeg tak bisa dilepaskan dari keseharian tersebut. Karenanya pula, tak ada gunanya mengerdilkan rasa gudeg hanya sebagai enak atau tidak enak.

Itu mengapa kuliner sebaiknya kita kembalikan pada akarnya, agar dapat bercerita sendiri. Salah satu caranya adalah dengan tidak membandingkan mana yang lebih enak, kecuali memang dalam sebuah kompetisi. Itupun yang dinilai tak hanya sekedar enak dan tidak enak.

Sudut pandang masyarakat setempat perlu sekali dilibatkan dalam proses ini. Dengan begitu, sebagai pembawa berita, harapannya kita justru dapat belajar banyak dari daerah yang kita datangi. Sejarah, budaya, geografis, hingga kepercayaan memiliki peran penting dalam terbentuknya suatu hidangan. Ingin lebih baik lagi? Biarkan masyarakat yang bercerita melalui pengalaman keseharian mereka.

Menjadi seorang pencerita kuliner, bukan berarti mengetahui segala hal – atau berada di tingkat yang lebih tinggi dari masyarakat yang didatangi. Referensi dari wawasan yang luas memang juga penting. Tapi, seleranya bukanlah yang utama, apalagi menjadi parameter rasa enak bagi makanan yang lain. Tugasnya bukan menilai atau mengajari, tapi memahami. Sangatlah baik bila ia mampu hadir setara atau justru menjadi murid dari warga setempat.

Kesalahan penempatan diri ini seringkali justru merusak identitas kuliner masyarakat setempat. Di daerah-daerah yang tak berbasis pariwisata, ada keengganan dari warga untuk menyajikan makanan keseharian mereka apabila didatangi oleh tamu dari luar kota – apalagi bila tamunya ini berasal dari kota-kota yang sering muncul di TV, seperti banyak kota di Pulau Jawa. Tebak kenapa? Karena ada ketakutan bahwa mereka tak dapat “menjangkau” selera “orang kota”. Paling tidak, itulah yang saya temui di suatu desa di pelosok Jawa Tengah.

Ini terjadi ketika desa tersebut mendapat kunjungan live-in dari suatu sekolah swasta di Jakarta. Alih-alih menyajikan lontong lodeh rebung yang biasa mereka makan sehari-hari, banyak warga yang memilih untuk menyajikan mie instan rebus dengan isian wortel.

“Karena di sinetron biasanya makanannya seperti itu,” jawab salah seorang ibu ketika saya tanya kenapa. Entah juga sinetron apa yang ditonton ibu tersebut. “Nanti nggak suka kalau dikasih makanan ndeso.”

Kata “ndeso” diucapkan dengan nada rendah diri.

Bagi saya pribadi, kegiatan berkeliling daerah dan mencicipi makanannya bukanlah untuk menjadi yang paling tahu dan menjadi tim penilai. Karenanya saya paling bingung kalau ditanya rumah makan mana yang menyajikan mie ayam paling enak – itu masalah selera. Atau, daerah mana yang kulinernya paling enak. Nggak bisa begitu.

Kuliner bercerita dengan sendirinya ketika kita berinteraksi dengannya, asalkan kita cukup peka. Mencicipi hidangan, mendengarkan orang bercerita tentang makanannya, hingga mencoba memasaknya sendiri merupakan cara saya untuk melengkapi pengetahuan kita dan memahami diri kita sendiri. Bahkan melalui banyaknya hidangan yang ada di sekitar kita, kita dapat menyadari betapa kayanya keragaman budaya yang kita miliki. Dan tak sedetik pun kita boleh minder atas apa yang kita miliki hanya karena itu berbeda.

@eatymologist.id