Saya baru dua kali berkunjung ke Lampung. Pertama kali ke Lampung, dunia saya masih dipenuhi dengan keinginan untuk keluar-masuk hutan hujan tropis karena pengaruh pekerjaan. Karenanya kunjungan saya saat itu lebih banyak dihabiskan di sebuah resort Jagawana di pedalaman Way Kanan. Alih-alih sibuk mencari kuliner enak, saat itu saya lebih suka mengikuti track hewan-hewan di sana dan bertemu dengan jejak gajah liar. Cukup menegangkan, terutama saat harus ke kamar mandi dan diwanti-wanti oleh salah satu jagawana. “Hati-hati ketemu babi hutan, ya…” ujarnya.
Bagaimanapun juga, itu sudah berlalu. Kunjungan ke Lampung yang kedua saya lakukan ketika dunia saya lebih tidak menegangkan, yaitu ketika perburuan saya lebih banyak melibatkan ikan bakar dan bukannya secara impulsif mencari seekor badak bernama Andalas.
Ada dua kuliner yang saya ingat ketika berkunjung ke Lampung dulu kala: Bakso Sony dan pindang ikan di rumah kawan saya. Kelezatan dua kuliner itu dulu sempat menempel diingatan saya hingga berbulan-bulan setelah saya pulang dari Lampung. Namun di kunjungan kedua ini saya lebih tertarik mencicipi kembali makanan khas Lampung milik seorang kawan tadi.
Pindang Kepala Simba.
“Bukan, Simba yang Lion King,” ujar kawan saya lempeng. Tampaknya candaan tentang ikan simba dan Lion King itu sudah over-used.
Ikan Simba adalah ikan karnivora yang hidup di perairan tropis. Nama lainnya adalah giant trevally atau dalam bahasa latin, Caranx ignobilis. Ikan ini biasa ditangkap oleh nelayan di pesisir Lampung dan dijual di tempat-tempat pelelangan ikan atau pasar.
Lebih dari 10 tahun yang lalu, saat kami masih kuliah, kawan saya ini pernah bercerita mengenai salah satu cita-citanya. Di atas motor, sore hari ketika kami berboncengan pulang entah dari mana, ia bercerita tentang keinginannya untuk membuat rumah makan untuk pindang ikan masakan ibunya yang katanya lezat sekali.
Saat itu saya hanya menanggapinya dengan “Ooo…” yang sederhana. Saya tak kenal pindang ikan, saya hanya kenal ikan pindang yang kerap dijual di keranjang dan tak begitu saya suka. Pemahaman yang salah kaprah saat itu.
Pindang sendiri adalah sup ikan. Di Sumatera, hidangan pindang ikan ini dapat dengan mudah ditemukan di Sumatera bagian selatan, mulai dari Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, hingga Bangka Belitung. Namun ada yang berbeda dengan pindang di Lampung. Karena letaknya berbatasan langsung dengan laut, pindang di Lampung menggunakan ikan hasil tangkapan dari laut, seperti ikan simba, ikan baung laut, atau ikan tuhuk. Sementara, di daerah lain biasanya masyarakat hidup di sekitar aliran sungai, sehingga ikan yang digunakan adalah ikan air tawar seperti ikan patin atau ikan baung sungai.
Di Lampung, berkunjung ke Restu Murni di Warung Sudirman merupakan salah satu tujuan utama saya – selain janji ajakan sarapan di bukit dan makan seafood di sebuah pulau. Di Restu Murni inilah saya kembali bersua dengan pindang kepala simba, dengan pemahaman yang jauh lebih lengkap.
Restu Murni menyajikan pindang kepala simba dengan resep yang telah disempurnakan sejak tahun 1990, ketika mereka pertama kali buka. Saat itu, Restu Murni memulainya dengan warung di Jl. Pangeran Antasari Gang Waru 2, No. 21, Sukamenanti, Bandar Lampung. Hingga saat ini, Restu Murni di Jl. Pangeran Antasari ini masih buka dan masih konsisten menyajikan kelezatan Pindang Kepala Simba.
Semangkok Pindang Kepala Simba hadir di depan saya, lengkap dengan nasi dan sambal seruit. Kuahnya yang segar, kombinasi dari rasa rerempahan dan sedikit manis, terasa nikmat di lidah. Ada yang mengatakan pindang di Restu Murni ini adalah pindang rasa Jawa, mungkin karena rasanya yang lebih ringan, meski bumbunya tetap menendang. Atau mungkin karena semribit rasa manis di antara kuahnya yang berempah tadi.
“Daging di bagian pipi paling enak rasanya,” ujar kawan saya memandu.
Dan benar, memang enak. Juga bagian mata dan bibirnya, yang menurut kawan saya merupakan bagian yang diincar para penggemar ikan simba. Di akhir perjalanan menikmati ikan simba, kami menyesap tulang-tulangnya hingga bersih. Kalau perut masih cukup, ingin rasanya menambah sepiring nasi lagi hanya untuk dimakan bersama kuahnya.
Selain pindang, Restu Murni juga menyajikan berbagai menu lain seperti Pepes Ikan Patin, Ikan Kakap Goreng, hingga Ikan Bekre Bakar. Atau Ayam Goreng, kalau mencari yang bukan ikan.
Sayang sekali Restu Murni tutup ketika hari saya akan pulang ke Jogja. Kalau tidak, pasti saya sudah membawa beberapa bungkus untuk menyiarkan berita tentang kenikmatan Pindang Kepala Simba ini ke keluarga di rumah.
Warung Sudirman – Restu Murni
Buka: 10.00-21.00 WIB
Jl. Jend. Sudirman No.14, Bandar Lampung, Lampung.
Telp: 0812-7185-7557
@warungsudirman